INTEGRASI IDEOLOGI PMII
Jumat, 16 Januari 2009
ASWAJA
SEBAGAI “MANHAJ AL FIKR” DAN “PARADIGMA GERAKAN”
Oleh Ali Imron*
Manusia sebagai salah satu mahluk Allah telah mengundang untuk menjadi obyek studi atau pembicaraan yang menarik. Namun pembicaraan itu tidak pernah tuntas memperoleh kesimpulan yang tepat mengenai keseluruhan aspeknya. Masing – masing ahli mengemukakan konsepsi berdasarkan keahlianya ; misalnya ahli filsafat menilai bahwa manusia adalah hewan yang berakal budi, ahli pendidikan menilai bahwa manusia adalah binatang yang berbakat dididik dan mendidik (homo edubaile, homo educandus). Ahli sosiologi menilai manusia sebagai binatang yang bermasyarakat (zoon politicon), ahli ekonomi menilai bahwa manusia adalah binatang yang berekonomi (homo ekonomicus) dan sebagainya.
Terminologi–terminologi tersebut merupakan aspek–aspek tertentu yang dapat ditemukan oleh masing–masing orang sesuai dengan sisi pandang yang menjadi perhatiannya, yang kesemuanya itu bersumber dari gerak aktifitas manusia sendiri.
Al qur’an sebagai hudan (pembimbing), sebagai furqon (pembeda) dan sebagai tibyan (penjelas) antara kenyataan yang satu dengan kenyataan yang lain, termasuk didalamnya manusia, telah menjelaskan sisi tertentu dari manusia dengan berbagai terminologi–terminologi agama yang dimunculkan olehnya. Terminologi–terminologi tersebut menggambarkan dan sekaligus menjelaskan tentang figur – figur yang diperankan manusia dalam berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, serta dengan alam lainnya. Dari terminologi–terminologi tersebut, masing–masing orang dapat mengaca diri, menilai dan mengevaluasi serta mempertanyakan terhadap hatinya termasuk kelompok atau golongan manakah saya dari terminologi–terminologi yang telah dirumuskan dan diuraikan oleh al qur’an tersebut. Marilah masing–masing dari kita mancari jawabannya !!!.
Dalam cakupan sejarah, bersinggungan dengan epistemologi serta hermeneutika ahlus sunnah wal jama’ah (orang–orang yang berpegang kepada sunnah Rosululloh SAW ) yang secara etimologi ungkapan ahlus sunnah wal jama’ah merupakan suatu istilah yang berbentuk kata majmuk yang terdiri atas ahlun, sunnah dan jama’ah yang masing–masingnya ahlun berarti pengikut, pendukung atau warga; as sunnah berarti dengan at tariqh dan dimaksutkan pula sebagai al hadith yakni jalan beraqidah dan beramal sesuai yang diajarkan oleh nabi / Rosululloh SAW dan diteruskan oleh para sahabat dan tabiin; al jamaah berarti pandangan mayoritas masyarakat Islam (as sawadul a’zam).
Dengan batasan sederhana ahlus sunnah wal jama’ah dapat diberi pengertian sebagai warga atau pengikut semua yang diajarkan oleh Rosulullah SAW dan golongan sahabatnya, yang hingga ajarannya terbukti menjadi faham mayoritas umat Islam. Istilah ahlus sunnah wal jamaah ini, sebenarnya muncul sejak zaman Rosululloh SAW sebagaimana disebutkan dalam hadith riwayat at Thabrany dan lain–lainnya bahwa Rosululloh SAW bersabda :
والذى نفسى بيده لتتفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار ، قيل من هم يارسول الله ؟ اهل السنة والجماعة
“ Demi Allah yang menguasai diri Muhammad, umatku akan pecah menjadi 73 ( tujuh puluh tiga ) golongan, yang satu golongan masuk surga dan yang tujuh puluh dua masuk neraka. Rosulullah ditanya : siapa yang masuk surga itu wahai Rosululloh ? beliau menjawab “ yaitu ahlus sunnah wal jamaah ““.
Untuk mencari inisial ( ciri–ciri ) ahlus sunnah wal jamaah ini, dalam hadith iftiroqul ummah (hadith tentang penjelasan perpecahan umat) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud terdapat kalimat penjelas dari Rosulullah siapa sebenarnya yang dinamakan ahlus sunnah wal jamaah, ialah : ماأنا عليه اليوم وأصحابى “ Apa yang saya lakukan hari ini dan juga para sahabatku”.
Kalau kita lihat hadith tersebut bahwa ahlus sunnah wal jamaah telah ada sejak zaman Rosulullah SAW. Bukan merupakan suatu reaksi sosial terhadap kelompok Mu’tazilah atau kelompok lain. Ahlus sunnah wal jamaah adalah pandangan hidup dalam beraqidah dan beramal yang sikap dan pola berfikirnya sebagai berikut :
1. Bahwa yang diajarkan oleh Rosulullah SAW mencakup al Qur’an dan as Sunnah ( hadith ) yang wujud penerapannya seperti terlihat pada amaliah para sahabat dan tabiin.
2. Menerima baik setiap sunnah dan hadith mutawatir atau ahad. Penerimaan tersebut berlaku sepanjang usaha merumuskan hukum amaliah ( fiqh ) dan bidang aqidah.
3. Sedia menampung setiap informasi mengenai pokok–pokok ajaran hukum amaliah dan aqidah dalam bentuk khabar atau atsar dari nabi atau dari sahabat. (Al Isfarayini dalam tabshir fid din, 11).
Dengan ketiga sikap tersebut ahlus sunnah wal jamaah sangat menghormati sumber–sumber naqli sebagai tolak ukur kebenaran suatu ajaran (haq) disamping tetap memanfaatkan akal (rasio) dalam ber-istitlal .
4. Mengakui terhadap setiap ijma’ ahlul Halli wal ‘adi, termasuk didalamnya ijma’ us sahabat, menerima pola penetapan hukum melalui qiyas dan tidak gegabah menuduh kufur kepada orang atau fihak lain.
Sikap tenggang rasa tersebut diperlukan untuk mempertahankan jamaah diatas kebersamaannya dan memelihara mayoritasnya ditengah masyarakat Islam. Konsekwensi dalam pandangan hidup dalam beraqidah dan beramal ahlus sunnah wal jamaah menuntut modal kemampuan menghayati dan menyimpulkan (istidlal dan istinbat) terhadap perikehidupan Rosulullah SAW dan para sahabat sebagaimana dinyatakan oleh Rosulullah tersebut.
Rentetan dialektika perspektif melalui jalur epistimologi ahlus sunnah wal jamaah dengan pendekatan paradigma organisasi PMII, seyogyanya memang mampu mendesain serta mencetak kader–kadernya menuju pribadi (ulul albab) yaitu cermin sosial yang secara individu atau personal berjiwa dzikir, fikir dan amal soleh. Ulul albab secara epistemologi memiliki arti orang–orang yang berakal atau orang–orang yang mempunyai fikiran. Artinya bahwa akibat pendidikan baik formal maupun non formal mampu memberikan efek atau pengaruh yang mampu mengantarkan hingga memiliki cermin individu cendekia. Kecendikiaan ini tercermin dalam kemampuannya menatap, menafsirkan dan merespon lingkungan hidupnya dengan sifat dan sikap terbuka, kritis, kreatif, obyektif, analitis dan bertanggung jawab serta komitmen terhadap agama Islam sebagai pandangan hidupnya.
Ciri–ciri orang yang termasuk ulul albab yaitu :
1. Memiliki hikmah ( kebijaksanaan ) yang telah diberikan oleh Allah SWT. ( QS. Al Baqarah ayat 269 ).
2. Mampu mengambil I’tibar ( pelajaran ) dari umat yang terdahulu (QS. Yusuf ayat 111)
3. Kritis terhadap permasalahan untuk mencari kebenaran (QS. Az Zummar ayat 18)
4. Bersungguh–sungguh dalam mencari ilmu (QS. Ali Imran ayat 7)
5. Selalu berfikir dan merenung tentang kejadian alam semesta (QS. Ali Imran ayat 190)
6. Mau mengambil pelajaran dari kitab–kitab yang terdahulu (QS. Sad ayat 29, QS. Al Mukminun, QS. Ali Imran ayat 7)
7. Tidak takut sendirian demi mempertahankan kebenaran (QS. Al Maidah ayat 100)
8. Mau menyampaikan dan memberikan peringatan kepada manusia dan memberikan pelajaran tentang ke–Esa-an Allah (QS. Ibrahim ayat 52)
9. Menepati janji dan menyambung silaturrahmi (QS. Ar Ro’du ayat 20 – 21)
10. Bersabar, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian rizkinya baik dengan sembunyi–sembunyi maupun dengan terang–terangan dan menolak kejelekan dengan kebaikan (QS. Ar Ro’du ayat 22).
11. Bangun di tengah malam, ruku’ dan sujud dihadapan Allah SWT. (QS. Az Zummar ayat 9)
12. Hanya takut kepada Allah SWT. (QS al Baqarah ayat 197, at Tholaq ayat 10, al Maidah ayat 100, ar Ro’du ayat 21)
Rekonsiliasi aksi sosial dalam terminologi ahlus sunnah wal jamaah ke–Indonesia–an hingga kini banyak memunculkan term – term baru yang termasuk diantaranya afiliasi intelektual religius atas munculnya semangat pribumisasi Islam yang dilakukan oleh komunitas founding fathers Nahdlatul Ulama karena alasan Islam bukan agama bangsa Arab. Term ahlus sunnah wal jamaah itu diantaranya qounun azasi yang dicetuskan oleh Hasyim Asy’ari guna mengerucutkan diri dalam bingkai mazdhab empat dalam penggunaan konsep fiqh-nya, yang diantaranya tokoh imam madzhab empat itu antara lain Hanafi, Maliki,Syafi’I dan Hambali yang walaupun secara al madhabi dan al manhaji kalangan Nahdlatul Ulama juga mengenal talfiq. Dikalangan komunitas warga Nahdlatul Ulama, hingga lebih menyempitkan diri kalangan komunitas warga PMII, dalam mengikuti faham ahlus sunnah wal jamaah tingkat pengakuan terhadap pelopor atau tokohnya adalah Imam Abu Hasan as Syafi’I dan Abu Mansur al Maturidi, juga pemahaman komunitasnya masih mengakui dengan adanya pintu ijtihad. Komunitas warga Nahdlatul Ulama yang mengklaim ke–jam’iyah–annya juga menganut prilaku tasawuf yang tokohnya, diantaranya Imam Al Junaidih Al Bagdadi dan Imam Al Ghazali beserta Imam–Imam yang lain yang dianggap memiliki relefansi proposional dengan ideologi tasawuf yang dianut oleh komunitas warga Nahdlatul Ulama.
Lebih jauh, dalam perkembangan ideologi ahlus sunnah wal jamaah dalam pendekatan organisasi PMII, hingga kini faktanya mengembangkan diri dalam wajah ideologi ahlus sunnah wal jamaah dengan akulturasi tradisi dan budaya serta fakta dan fenomena sosial yang mencakup diantaranya lima prinsip universal maqosidu al syar’iyah yang diantaranya hifd al dien, hifd al nafs, hifd al aql, hifd al mal, hifd al irdh wa al nasl. Juga dalam memanifestasikan nilai–nilai ahlus sunnah wal jamaah ala PMII menuju komunikasi tradisionalis kultural terbingkai melalui bahasa dan rujukan sejarah yang tercermin melalui empat pendekatan yaitu :
1. Melalui pendekatan pemehaman nilai – nilai ahlus sunnah wal jamaah yang seyogyanya dalam persoalan sosial menuju solusinya selalu menggunakan aspek pendekatan asas metodologi proses dan prosedur.
2. Dalam menyelesaikan problem sosial selalu menggunakan kerangka teori frame work yang memihak terhadap kaum mustad’afin, lemah dan teraniaya.
3. Resolusi problem solfing selalu diupayakan dengan usaha penyelarasan menuju persesuaian yang adil dan bijaksana.
4. Mampu memberikan tambahan atau peningkatan pengetahuan terhadap proses dinamisasi sosial (contribution to knowledge).
Premis – premis pembaharuan menurut hemat saya, terkait dengan pemahaman ahlus sunnah wal jamaah ala organisasi PMII, seyogyanya mampu menempatkan peran dan posisinya sebagai mujtahid sosial dalam menanggulangi dan mengatasi problem – problem sosial keagamaan dan kemasyarakatan, yang tuntutannya sebagai kader PMII seharusnya tidak takut dan enggan untuk mengembangkan sistem ijtihad menuju kesejahteraan agama, bangsa dan negara. Adapun sistem Ijtidad itu diantaranya adalah :
1. Ijtihad bi al manhaj,
2. Ijtihad bi al taqrib
3. Ijtihad bi al manfaat
4. Ijtihad bi al maslahat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar